Skip navigation

Tag Archives: bandung

Hari ini Paskah. Sebelumnya ada lima hari Minggu Prapaskah dan 40 hari pantang. Aku ingin berpantang daging. Akan tetapi ternyata tidak sanggup karena ada kegiatan yang membutuhkan lembur dan dinas. Saat itulah aku membutuhkan protein dan lemak hewani. Selama masa Prapaskah ini pula, aku menghapus aplikasi jejaring sosial pada perangkat genggamku. Setelah Paskah juga, aku tidak akan menginstall ulang para aplikasi tersebut sebelum aku memiliki kemajuan yang berarti dalam kegiatan penelitianku.

Aku tertarik dengan tema masa Prapaskah yang ada di Gereja St. Johann Bremen dan yang ada di Gereja Mahasiswa (GEMA) Bandung. Kedua tema memiliki inti yang mirip, terutama tentang Gereja Katolik yang harus memiliki peran sosial dalam masyarakat, dan tidak hanya berpusat pada dirinya sendiri.

Seharusnya aku membuat posting tentang ini pada awal masa Prapaskah, bukan pada akhir Prapaskah seperti sekarang. Tapi baru kali ini aku merasa ada sedikit waktu.

***

Tema Paskah di St. Johann Bremen, Jerman, diambil dari Evangelii Gaudium, suatu himbauan apostolik (apostolic exhortation) yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada Selasa Wage, 26 November 2013. Evangelii Gaudium artinya Suka Cita Injil, atau The Joy of Gospel, atau Freude des Evangeliums (wiki: en,de). Tulisan panjangnya bisa dibaca di laman resmi Vatikan: dalam bahasa Inggris atau Jerman. Rangkuman dalam bahasa Indonesia bisa dibaca dari tulisan Pastor Prof Dr B.S. Mardiatmadja SJ tentang Evangelii Gaudium di majalah Hidup, edisi 50, tanggal 15 Desember 2013.

Tema Prapaskah 2014 di St. Johann, Bremen, Jerman

“Brechen wir auf, um allen das Leben anzubieten!”
“Mari kita mulai bergerak untuk mempersembahkan Sang Kehidupan bagi semua orang!”
“Let us go forth to offer everyone the Life!”
(Evangelii Gaudium 49)

1. “Ich will keine Kirche, die darum besorgt ist, der Mittelpunkt zu sein.” Alte und neue Versuchungen.
“Aku tak ingin Gereja yang hanya memusatkan pada dirinya saja.” Cobaan lama dan baru.
“I do not want a Church concerned with being at the centre.” Old and new temptations.
(Evangelii Gaudium 49)

2. “Wir können nicht passiv abwartend in unserem Kirchenräumen sitzen bleiben!”. Aufbrechen.
“Kita tidak bisa pasif menunggu dalam ruang gereja”. Bergerak!
“We cannot passively and calmly wait in our church buildings”. Going forth.
(Evangelii Gaudium 15)

3. “… in enem beständigen Aufbruch zu den Peripherien”. Grenzen ausloten und überschreiten.
“Terus bergerak ke pinggiran.” Berlayar menembus batas.
“… in constantly going forth to the outskirts of its own territory”. Exploring and crossing boundaries.
(Evangelii Gaudium 30)

4. “Die langweiligen Schablonen durchbrechen, die IHN gefangen halten.” Neu sehen lernen.
“Membuat terobosan kreatif, untuk mendekatkan diri dengan-Nya”. Belajar melihat pandangan baru.
“Break through the dull categories with which we would enclose Him”. Learning new vision.
(Evangelii Gaudium 11)

5. “Es ist aber auch gewiss, dass mitten in der Dunkelheit etwas neues aufkeimt.” Kämpfen für das Leben.
“Akan tetapi kita tahu bahwa di tengah kegelapan, sesuatu yang baru bertumbuh.” Berjuang untuk hidup.
“But it is also true that in the midst of darkness something new always springs to life”. Struggling for the Life.
(Evangelii Gaudium 276)

***

Di GEMA Bandung, tema Prapaskah 2014 berhubungan dengan tahun politik di Indonesia. Di tahun ini, ada rangkaian Pemilu: pemilihan legislatif di bulan April dan pemilihan Presiden di bulan Juli (dan September). Umat Katolik Indonesia diajak untuk terlibat dalam kegiatan yang menentukan masa depan bangsa untuk setidaknya 5 tahun ke depan. Gereja Katolik Indonesia harus memiliki peran sosial dalam masyarakat Indonesia.

Tema Prapaskah 2014, Gereja Mahasiswa (GEMA) Bandung, Indonesia

Akur ka Batur Sakujur. (Berdamai dengan diri sendiri)

Akur ka Batur Sakasur. (Rukun dengan keluarga)

Akur ka Batur Sadapur. (Bersatu dalam Gereja)

Akur ka Batur Sasumur. (Akur bersama masyarakat)

Akur ka Batur Salembur. (Bhinneka Tunggal Ika)

***

Selamat Paskah 2014!

Lumen Christi, Deo Gratias!
Kristus Cahaya Dunia, Syukur kepada Allah!

Bremen, 20 April 2014

iscab.saptocondro

Bremen Bermentari http://iscabremen.blogspot.com/2014/04/menyambut-paskah-2014-beda-bremen-dan.html

Di Sukamenak Indah, dekat jalanan terusan Kopo, di Kabupaten Bandung, terdapat pengarang lagu pop Sunda. Lagu-lagunya lumayan terkenal di tahun 80-an dan 90-an di Bandung. Pengarang ini bernama “Emen”.

Lagu asyik, berjudul “Emen” karangan si Emen, cocok buat yang patah hati.
Buat yang pengen bunuh diri, pakai racun tikus yang belinya harus berutang.
Buat yang pengen gantung diri, pakai tali kolor warna hitam.

Lagu asyik, dimulai dari kesengsaraan patah hati, kemudian semakin lama semakin optimis dan semakin tegar dalam menjalani hidup. Cocok buatku yang sering menertawakan diri sendiri ketika menhadapi ketololan.

“Maunya sih aku bunuh diri, Emen… tapi aku masih ingin hidup, Emen… Biar sakit hati ini”
“Kahayangna kuring bunuh diri, Emen… tapi kuring masih hayang hirup, Emen… Najan kuring nyeuri hate” (versi Sunda

Sekarang jalan Kopo bernama Jalan Kyai Haji Wahid Hasyim.
Jalan Terusan Kopo tempat berbelok ke Sukamenak Indah bernama Jalan Kopo-Sayati.
Nasib Emen bagaimana, yah, di abad 21 ini?

Nürnberg, 22 Mei 2012

iscab.saptocondro

Sudah 6 tahun, aku tinggal di Jerman. Sekarang kumasuki tahun ketujuh seiring dengan awal bulan April ini. Tahun ketujuh aku tak pernah menjejakkan kakiku di Indonesia.

Teringat 6 tahun lalu, kejejakkan kakiku di Jerman pertama kali di bandara Hannover. Lalu naik kereta menuju stasiun utama kota itu. Bingung mencari tempat membeli tiket kereta menuju Bremen.

Sesampainya di stasiun utama Bremen, aku tidak tahu tempat sekretariat jurusanku di Uni Bremen. Aku berdebat dengan sopir taksi mengenai alamat tersebut. Aku hanya punya selembar kertas yang mungkin salah karena kurangnya persiapanku selama di Indonesia.

Sopir taksi membawaku ke gedung NW1 Uni Bremen. Di sana aku harus membayar uang 10,10 EUR. Aku tak punya 10 sen. Sopir taksi tersebut lalu berkata kalau cukup 10 EUR saja. Di gedung NW1 ini aku pun kebingungan dengan lokasi sekretariat jurusanku. Dalam gedung ini, aku tersesat.

Sekretariat jurusan kutemui setelah berkeliling gedung ini. Dari lantai 1 hingga 4, dari Barat hingga Timur. Satu hal yang kupelajari setelah aku menamatkan studi di Uni Bremen adalah sekretariat bisa berpindah tergantung pergantian personalia dalam kampus: entah sekretaris maupun Profesor.

Di sekretariat jurusan alias Master Office, aku diberikan suatu “To-Do List”. Mendaftarkan diri di International Office di Verwaltungsgebäude. Melaporkan diri di imigrasi setempat yang terletak di BSU (Bremen Service University). Mendaftarkan diri untuk masuk antrian asrama. Itulah sebagian isi “To-Do List” tersebut.

Aku menghabiskan banyak waktu menimba ilmu teknik otomasi dan ilmu hidup (bukan biologi, ya!) di Bremen ini. Kalau kuhitung, nyaris lima setengah tahun, aku tinggal di Bremen. Untuk studi kuhabiskan empat setengah tahun, sedangkan seharusnya dua tahun saja. Banyak pengalamanku di sana yang kuceritakan di blogku lainnya.

Tahun lalu, di bulan Agustus, aku pindah ke Bayern. Aku bekerja di Herzogenaurach. Selama tiga bulan kutinggal di sana sembari mencari tempat tinggal di area tersebut. Di bulan November, akhirnya kudapatkan apartemen di Nürnberg. Kupilih kota ini karena di sini aku bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi serta aku butuh hingar-bingar kehidupan kota. Tinggal di Herzogenaurach terlalu sunyi untukku.

Akhir tahun tersebut, uang tabunganku habis dan batas atas kartu kreditku tercapai. Relokasi adalah komponen biaya tinggi untuk pekerja. Aku menikmati liburan natal dan tahun baru di apartemen baru tanpa bisa pergi ke mana-mana.

Kini, sudah April 2012. Kumasuki tahun ketujuh tinggal di Jerman. Aku masih belum punya kursi di apartemen ini jadi aku tak bisa mengganti lampu kamarku. Aku juga belum punya meja untuk makan dan untuk bisa menjadi tempat memotong dalam memasak. Gorden untuk jendela juga belum kumiliki. Rak untuk menaruh barang-barangku juga tidak ada, sehingga semua masih dalam kardus. Masih banyak yang harus kulakukan untuk apartemen ini. Andai aku punya istri atau pacar yang tinggal bareng mungkin apartemen ini lebih baik.

Pada tahun ketujuh ini, aku ingin bisa menjejakkan kakiku di tanah kelahiranku dan menghirup udara kota Bandung lagi. Aku ingin mendengar gelak tawa keluarga dan teman-temanku di tanah airku. Aku ingin membasuh jiwaku yang kering dengan sepercik memori masa laluku di Indonesia. Mungkin aku bisa mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dari diriku.

 

Nürnberg, 1 April 2012

iscab.saptocondro 

Sudah 6 tahun, aku tinggal di Jerman. Sekarang kumasuki tahun ketujuh seiring dengan awal bulan April ini. Tahun ketujuh aku tak pernah menjejakkan kakiku di Indonesia.

Teringat 6 tahun lalu, kejejakkan kakiku di Jerman pertama kali di bandara Hannover. Lalu naik kereta menuju stasiun utama kota itu. Bingung mencari tempat membeli tiket kereta menuju Bremen.

Sesampainya di stasiun utama Bremen, aku tidak tahu tempat sekretariat jurusanku di Uni Bremen. Aku berdebat dengan sopir taksi mengenai alamat tersebut. Aku hanya punya selembar kertas yang mungkin salah karena kurangnya persiapanku selama di Indonesia.

Sopir taksi membawaku ke gedung NW1 Uni Bremen. Di sana aku harus membayar uang 10,10 EUR. Aku tak punya 10 sen. Sopir taksi tersebut lalu berkata kalau cukup 10 EUR saja. Di gedung NW1 ini aku pun kebingungan dengan lokasi sekretariat jurusanku. Dalam gedung ini, aku tersesat.

Sekretariat jurusan kutemui setelah berkeliling gedung ini. Dari lantai 1 hingga 4, dari Barat hingga Timur. Satu hal yang kupelajari setelah aku menamatkan studi di Uni Bremen adalah sekretariat bisa berpindah tergantung pergantian personalia dalam kampus: entah sekretaris maupun Profesor.

Di sekretariat jurusan alias Master Office, aku diberikan suatu “To-Do List”. Mendaftarkan diri di International Office di Verwaltungsgebäude. Melaporkan diri di imigrasi setempat yang terletak di BSU (Bremen Service University). Mendaftarkan diri untuk masuk antrian asrama. Itulah sebagian isi “To-Do List” tersebut.

Aku menghabiskan banyak waktu menimba ilmu teknik otomasi dan ilmu hidup (bukan biologi, ya!) di Bremen ini. Kalau kuhitung, nyaris lima setengah tahun, aku tinggal di Bremen. Untuk studi kuhabiskan empat setengah tahun, sedangkan seharusnya dua tahun saja. Banyak pengalamanku di sana yang kuceritakan di blogku lainnya.

Tahun lalu, di bulan Agustus, aku pindah ke Bayern. Aku bekerja di Herzogenaurach. Selama tiga bulan kutinggal di sana sembari mencari tempat tinggal di area tersebut. Di bulan November, akhirnya kudapatkan apartemen di Nürnberg. Kupilih kota ini karena di sini aku bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi serta aku butuh hingar-bingar kehidupan kota. Tinggal di Herzogenaurach terlalu sunyi untukku.

Akhir tahun tersebut, uang tabunganku habis dan batas atas kartu kreditku tercapai. Relokasi adalah komponen biaya tinggi untuk pekerja. Aku menikmati liburan natal dan tahun baru di apartemen baru tanpa bisa pergi ke mana-mana.

Kini, sudah April 2012. Kumasuki tahun ketujuh tinggal di Jerman. Aku masih belum punya kursi di apartemen ini jadi aku tak bisa mengganti lampu kamarku. Aku juga belum punya meja untuk makan dan untuk bisa menjadi tempat memotong dalam memasak. Gorden untuk jendela juga belum kumiliki. Rak untuk menaruh barang-barangku juga tidak ada, sehingga semua masih dalam kardus. Masih banyak yang harus kulakukan untuk apartemen ini. Andai aku punya istri atau pacar yang tinggal bareng mungkin apartemen ini lebih baik.

Pada tahun ketujuh ini, aku ingin bisa menjejakkan kakiku di tanah kelahiranku dan menghirup udara kota Bandung lagi. Aku ingin mendengar gelak tawa keluarga dan teman-temanku di tanah airku. Aku ingin membasuh jiwaku yang kering dengan sepercik memori masa laluku di Indonesia. Mungkin aku bisa mendapatkan kembali sesuatu yang hilang dari diriku.

 

Nürnberg, 1 April 2012

iscab.saptocondro 

This is a short video of Brain Computer Interface research in Bandung, Indonesia.

The research is conducted in the School of Electrical Engineering and Informatics (STEI) in Institut Teknologi Bandung (ITB).

iscab.saptocondro

Pempek Palembang is indonesian food from South Sumatera. This food is made from fish, tapioca flour and garlic. Actually it looks like meatball. You can say fishball. But the shape is not always round so fishball or meatball is not the right name. Pempek Palembang is served with Cuko Pempek, which is sauce made from water, Javanese brown sugar, vinegar, garlic and spices. You can try to google “Pempek Palembang”.  This food is always my favourite. There is a song about this food.

***

Selama meninggalkan Bandung aku selalu merasa terkena kutukan Pempek Palembang. Sepertinya aku terkutuk tidak bisa makan Pempek sebelum kembali lagi ke tanah kelahiran. Banyak sekali kenanganku bersama Pempek Palembang yang membuatku ngidam makanan ini. Suatu hari aku berinisiatif membuat makanan ini demi menghilangkan kutukan ini maka terjadilah Workshop Pempek Palembang. Sejak saat itulah, aku mengalami pencerahan. Sekarang aku mengerti makna Perjamuan Kudus, mengapa makan-makan dikenang sebagai proses kebangkitan manusia dari kematian. Pempek Palembang bagaikan “Agnus Dei” dan “Roti Hidup yang Kekal” bagiku.

***

Lagu ini dipersembahkan bagi penggemar Pempek Palembang.

***

Bandung Fe mengembangkan suatu software untuk membangkitkan pola-pola suatu fraktal dalam pola-pola Batik. Selain itu, mereka mempelajari pola-pola batik tersebut, sejarahnya, dan daerah asal batik yang bersangkutan.

Tulisanku di blogs lainnya berisi video kerjaan mereka selama ini.